Bubaran malam itu.

Adinda Putri Sekarhawangi
2 min readNov 18, 2024

--

Bubaran malam itu, semua orang mendapatkan tebengannya. Kecuali aku. Aplikasi ojek online yang menghias layar ponselku menjadi pembukti jikalau aku berniat pulang seorang diri malam itu. Bukan hanya karena tak mendapat tebengan, sih, tapi aku tahu diri jika alamat kos-ku jauh dari peradaban — kampus dan pusat kota maksudnya — sehingga aku menerima nasib aku pulang sendirian dibandingkan membebankan seseorang.

Sejak tadi, aku bisa dengar ajakanmu tentang makan malam — bukan, bukan spesifik tertuju padaku, tapi kepada semua orang di ruangan. Namun sayangnya ajakanmu tak dianggap — entah hanya aku yang terlalu peka atau memang ajakanmu kurang menarik. Aku tak termasuk keduanya; karena aku terlampau peka (khususnya akan suaramu), dan aku lapar kala itu.

Entah bagaimana ceritanya, aku dan dirimu menjadi dua orang terakhir yang meninggalkan ruangan. Tanganmu sibuk kembali mengunci ruangan sekretariat, sementara aku menatap ponselku yang masih menunjukkan aplikasi ojek online — orderanku berhasil dibuat.

Dirimu menoleh ke layar ponselku setelah berhasil mengunci ruangan. Rautmu lalu cemberut — mungkin kecewa akan keputusanku. Tapi entah, rancu. Aku tak mau berharap dirimu sebenarnya ingin bersamaku.

Derap langkah kita secara otomatis melaun menjauhi ruang sekretariat. Launnya yang ciptakan jarak dengan yang lain, buat sebuah ruang untuk diri kita sendiri. Bersamaan dengan gerak lambat tungkaiku, aku mengalami peperangan batin — ada gejolak untukku menindaklanjuti reaksi burukmu tadi akan keputusanku.

Sebelum akhirnya, kuredam seluruh ragu dan kutebas segala takut.

‘Ayo makan.’ Ucapku sangat pelan.

Hanya kau jawab dengan kebisuan. Aku tau dirimu mengalami peperangan batin yang juga terjadi padaku — yang kau alami kuyakini lebih hebat dan lebih kacau dari milikku. Sumpah demi Tuhan, aku tidak berharap dirimu berkata ‘iya’, dan aku sudah berjanji kepada diri sendiri akan buang jauh-jauh rasa kecewa semisal dirimu menolak.

Namun aku memilih satu kali lagi, terakhir kali, memberanikan diri. ‘Kalo mau, aku cancel.’ Ujarku, sambil kembali menunjukkan sinar dari ponselku.

Lain dari pertanyaanku yang pertama, kali ini dirimu menjawab sesaat kemudian: ‘Cancel dulu aja.’

Gerak jariku lalu sama cepatnya dengan jawabanmu terhadap ucapanku yang kedua. Setelah berhasil membatalkan pesanan, aku lantas menuturnya ke tempat motornya diparkirkan.

Parkiran masih ramai dengan yang lainnya, semua motor siap melaju dan semua orang mendapat tebengannya. Termasuk aku, akhirnya. Aku tak jadi pulang sendirian, dan ternyata, dirimu yang mengantarku pulang.

Lalu kemudian, ajakan makan malammu terwujud. Hanya bersamaku, akhirnya. Kurang lebih satu jam kita habiskan di sebuah warung makan khas Jawa Timur, sebelum akhirnya dirimu benar mengantarku pulang.

Bubaran malam itu, kita sama-sama memberanikan diri. Entah dengan merampas rasa takut atau menjadi tidak peduli. Atau sesimpel karena memang sama-sama ingin bersama?

--

--

No responses yet