Malam itu, aku kembali runtuh. Atau utuh?
Malam itu, aku termangu. Tatap kosong dinding polos di hadapku. Mencoba meredam rasa rindu dan harap untuk bertemu.
Aku berani bersumpah, akal sehatku sudah mulai bekerja malam itu. Yakini diriku jika benar dirimu akan singgah, yang akan kulakukan adalah melepasmu setelah itu. Aku berani bersumpah, aku sudah mencoba meredam rinduku. Aku berani bersumpah, tekadku sudah bulat untuk membiarkanmu hanya sebatas di ambang pintu. Aku berani bersumpah, aku sudah meredam pikiranku untuk lagi-lagi berimu kesempatan hanya untuk buat diriku kembali terjerumus.
Lalu dirimu mengetuk. Suara yang sebenarnya kutunggu semenjak satu jam yang lalu. Suara yang terlampau familiar bagiku untuk tak kuakui sesungguhnya hatiku terenyuh.
Figur dirimu dengan senyummu yang sebenarnya merupakan lambang peluh. Figur dirimu yang aku tahu coba keras untuk terlihat teguh hanya untuk sembunyikan seribu satu runtuh. Figur dirimu yang kembalikanku kepada dataran ternyamanku.
Aku lagi-lagi berani bersumpah, aku masih miliki kesadaran detik itu. Aku tahu aku masih memiliki kesempatan untuk buatmu pergi dan hanya berakhir di depan pintu. Aku tahu aku masih memiliki kesempatan untuk mengusirmu, dan mungkin hantarkanmu kepada kekecewaan yang akan mengiringimu dalam jalan pulangmu. Namun sayangnya, dengan penuh kekecewaan, aku harus mengakui bawa entah setan keji apa, entah setan keji apa yang rasukiku, yang buatku tanpa sadar di detik kemudian aku sudah kembali berada dalam rengkuh hangatmu.
Serta merta dengan penuh kekecewaan, aku harus mengaku bahwa hanya rasa aman yang menyelimutiku ketika yang dirimu lakukan adalah menghapus habis jarak dan rapatkan tubuhmu. Dengan penuh kekecewaan, aku harus mengaku bahwa sebenarnya hanya hal itu yang kubutuh, untuk kembali kepada dirimu. Dengan penuh kekecewaan, aku harus mengaku bahwa bersamamu, aku berada dalam rumah ternyamanku.
Aku mengaku aku lagi-lagi kalah dan kembali runtuh. Segala tembok baja yang kususun dengan susah payah, kembali runtuh ketika di penghujung hari, dirimu datang dan sadarkanku sebenarnya aku dibalut habis dengan rindu. Segala benteng yang kubangun dengan penuh peluh, kembali runtuh ketika dirimu datang dan hantarkanku pada daratan ternyamanku.
Malam itu, aku mengaku aku kembali runtuh.
Atau aku kembali utuh?