Perbolehkan aku berbicara tentang waktu, ya?
Tentangmu sejak tiga, dua, dan satu tahun yang lalu, hari ini, hari-hari esok, dan suatu hari nanti.
Mari urai pelan-pelan, satu persatu. Tiga tahun lalu, aku dapatkamu di situ. Di barisan paling depan seperti yang selalu aku sebut. Tak lupa rambutmu yang jelas sekali baru dipangkas — satu, dua, atau mungkin tiga hari yang lalu. Tubuhmu yang sigap menjadi awal impresiku bagi dirimu. Menjadi pembuka dari segala tebakanku, segala terkaanku tentang dirimu. Bagiku, ada wibawa dan ada ketegasan di balik tubuh itu. Sejak saat itu, netraku mulai terpaku. Hanya kepadamu.
Dua tahun lalu, segala tebakanku menjadi sebuah perwujudan. Aku memandang dirimu sebagai sang mentari — panas dan cahayamu menjadi dominansi di manapun dirimu berada. Beberapa insan tak menyukai panasmu, tetapi aku menjadi salah satu yang selalu berada di bawahnya dan berlindung. Tebakanku tentang wibawa dan ketegasanmu lantas menjadi aksi, tetapi anehnya aku selalu terkesima jika dapatkan sisi dirimu yang itu. Waktu berlalu dan aku berkenalan dengan sisi dirimu yang lain, kendati aku kian terpaku.
Satu tahun yang lalu, aku sudah berdiri tegap dengan perasaanku untukmu. Ribuan tutur telah kususun dan segalanya bersatu menjadi sebuah janji teguh. Kekagumanku menjadi taksu — menjadi penghantar dari seluruh afeksi bisu untukmu yang selama ini hanya kuredam apik dalam kalbu. Aku bersumpah saat itu, bahwa di hari nanti aku akan perkenalkanmu dengan rasaku.
Tak terasa satu tahun telah berlalu dan kita jumpai hari ini. Hari di mana aku bersahabat dengan kata menunggu. Entah apa yang aku tunggu, namun aku akan terus menunggu. Menunggu dan menunggu dengan kawanan sang rindu. Sejatinya lelah aku, namun menunggu bagaikan satu jawaban yang dirimu utarakan saat itu. Bagaikan jawaban dari setiap untaian rasa yang kugambarkan. Bagaikan sebuah impian atas segala hal yang kuharapkan. Bagaikan sebuah perjanjian atas sebuah hal yang kuyakinkan.
Aku tak akan berjanji jika hari-hari esok akan sama dengan hari ini. Aku tak akan berjanji jika aku akan selamanya menunggu, aku tak akan bersumpah aku akan selamanya di sini untukmu. Mungkin di tahun-tahun berikutnya, atau mungkin di bulan-bulan berikutnya, atau mungkin lusa, atau bahkan mungkin besok, aku sudah menyerah. Meninggalkanmu dengan segala jejak rasaku yang kuanggap luar biasa dahulu. Meninggalkanmu dengan serajut untaian diksi indah yang pernah kutulis untukmu. Meninggalkanmu dengan segala rasa ragu yang dahulu selalu kulontarkan kepadamu. Di hari-hari esok, aku tak akan lagi mendambamu. Aku tak akan lagi menulis untukmu. Aku tak akan lagi bermimpi akan sosokmu.
Selalu ada dirimu di setiap waktuku. Dan suatu hari nanti, aku berjanji aku akan menghapusmu.